Kapal pesiar menjadi simbol hancurnya turisme. |
Pandemi telah menghancurkan turisme global, dan banyak yang akan mengatakan ‘pembebasan yang bagus’ bagi kota-kota yang terlalu ramai dan keajaiban alam hilangnya sampah yang berserakan. Apakah ada cara lain untuk memulai kembali suatu industri yang menyebabkan kerusakan yang sedemikian besar? Oleh Christopher de Bellaigue
Dari semua malapetaka yang menimpa turis karena merebaknya virus korona, yang terjadi pada kapal pesiar adalah satu peristiwa tersendiri. Penularan di laut menginspirasi cerita horor khusus, karena kapal pelesir berubah menjadi kapal penjara, dan rumor berjangkitnya virus di atas kapal menyebar di antara kabin yang berbau busuk via WhatsApp. Berdesakan bersama sesama penumpang, penyelenggara liburan mengalami kesulitan sebagai korban sekaligus agen yang menjadi penyebab penularan, sebagai bagian dari runtutan kejadian setelah pelabuhan-pelabuhan menolak mereka untuk masuk.
Ketika itu dimulai, situasi yang membawa maut di atas laut dipandang sebagai suatu hasil dari pemikiran yang masih dianggap sebagai masalah Cina. Kapal pertama yang terjangkit adalah Diamond Princess. Menjelang pertengahan Februari, 355 kasus telah dikonfirmasi terjadi di atas kapal, dan kapal tersebut mangkrak dikarantina di pelabuhan Yokohama. Saat itu, kapal tersebut terhitung mengalami lebih dari setengah kasus yang dilaporkan di luar Cina. Empat-belas penumpang di atas kapal Diamond Princess meninggal karena virus tersebut.
Mimpi buruk di atas laut tersebut belum berakhir. Bahkan setelah para penumpang dari tiga-puluhan kapal pesiar yang tertimpa musibah tersebut dibolehkan untuk turun dari kapal, dan memenuhi rumah sakit, hotel karantina atau kapal-kapal carteran yang membawa mereka pulang ke tempat asal mereka, sekitar seratus-ribu kru dan staf tetap terjebak di atas laut, sebagian dikarantina, sebagian lagi dihalangi untuk turun dari kapal sampai majikan mereka dapat membuat rencana perjalanan kapal yang berikutnya. Drama kedua ini menuntun kepada serangan kelaparan massal – pada 15 kru orang Romania di tempat orang-orang terlantar di lepas pantai Florida – dan campur tangan polisi memadamkan gangguan di atas kapal yang dikarantina di pelabuhan Jerman Cuxhaven. Di tanggal 1 Juni, kru dan staf di atas dua-puluh kapal pesiar yang terdampar di Teluk Manila menurut laporan ricuh meminta dibolehkan turun ke darat.
Kapal pesiar telah menjadi suatu simbol dari kebinasaan yang virus korona timpakan atas turisme. Suatu sektor yang sampai bulan Januari nilainya 150 biliun dolar, menurut perkiraannya sendiri, yang menumpahkan lowongan pekerjaan, mengeluarkan hutang dan mendiskon besar-besaran hanya sekedar untuk bertahan hidup. Tetapi bahkan sebelum krisis saat ini menghantam, kapal pesiar telah menunjukkan gejala kerusakan yang turisme timbulkan atas dunia.
Turisme adalah suatu industri yang tidak biasa dalam artian aset-aset yang dijadikannya sebagai uang berupa – pemandangan alam, terumbu karang, katedral – yang tidak menjadi miliknya. Perusahaan kapal pesiar dunia yang dominan – Carnival, Royal Caribbean and Norwegian – tidak terlalu memperhatikan perawatannya padahal mereka hidup dari situ. Dengan memasukkan diri mereka sendiri di dalam pajak luar negeri yang tidak besar dan ramah dalam hukum tenaga kerja – yakni urutannya Panama, Liberia dan Bermuda – tiga pesiar besar, yang terhitung untuk tiga perempat dari industri tersebut, menikmati pajak yang rendah dan menghindari regulasi yang menjengkelkan, sambil mencemari udara dan laut, mengikis garis pantai dan menumpahkan puluhan juta orang ke pelabuhan-pelabuhan yang seringkali tidak dapat mengatasi tumpahan itu.
Yang terjadi pada kapal pesiar terjadi pula pada sebagian industri travel. Selama berdekade-dekade, sejumlah kecil reformis berfikiran ramah lingkungan di sektor tersebut telah mencoba mengembangkan turisme langgeng yang menciptakan lapangan kerja yang bertahan lama sambil meminimalisir kerusakan yang ditimbulkannya. Tetapi sebagian besar grup hotel, tur operator dan otoritas turisme nasional – apa pun komitmen yang mereka nyatakan untuk menyelenggarakan turisme yang berkelanjutan – berlanjut untuk memprioritaskan skala ekonomi yang tidak terhindarkan mengarah kepada lebih banyak turis yang membayarkan sedikit uang dan menumpuk tekanan yang lebih besar pada aset-aset yang sama tersebut. Sebelum wabah, para ahli industri meramalkan bahwa kedatangan internasional akan meningkat antara 3% dan 4% di tahun 2020. Wisatawan Cina, kelompok yang paling cepat dan luar biasa pertumbuhannya di dalam dunia turisme, diharapkan menghasilkan 160 juta perjalanan ke luar negeri, sebagai suatu peningkatan 27% dari angka di tahun 2015.
Virus tersebut telah memberi kita suatu gambaran yang menakutkan sekaligus indah, dari suatu dunia tanpa turisme. Kita melihat sekarang apa yang terjadi pada barang-barang publik ketika turis tidak menumpuk untuk mengeksploitasi mereka. Garis pantai menikmati istirahat dari erosi yang disebabkan oleh kapal pesiar seukuran tebing. Para pejalan kaki terpaksa berdiam di lingkungan rumah sehingga berhenti dari membuang sampah di lereng gunung. Budaya kuliner yang ruwet tidak lagi terancam oleh gemerincing pizza beku yang dicairkan. Sulit untuk membayangkan deskripsi yang lebih baik atas efek turisme kalau bukan karena terjadinya situasi seperti sekarang.
Virus korona juga mengungkapkan bahaya dari terlalu bergantung pada turisme, menunjukkan dalam cara yang brutal tentang yang terjadi ketika industri yang men-support suatu komunitas secara keseluruhan, dengan mengorbankan aktivitas yang lebih langgeng lainnya, runtuh. Pada tanggal 7 Mei, Organisasi Turisme Dunia PBB memperkirakan bahwa pendapatan dari turisme internasional mungkin turun 80% tahun ini dibandingkan angka tahun lalu 1,7 triliun dolar, dan bahwa 120 juta pekerjaan mungkin hilang. Karena turisme bergantung pada manusia bergerak yang sama yang menyebarkan penyakit, dan dibatasi dengan keras lingkup geraknya, sehingga turisme menjadi yang paling menderita ketimbang aktivitas ekonomi lain.
Karena pukulan turisme pada dunia telah menjadi lebih mendalam, begitu pula ekonomi global yang bergantung pada turisme. Sekarang, setelah perjalanan ke luar negeri dilarang – yang tidak terbayangkan bahkan enam bulan sebelumnya – kita memiliki opportunity yang jarang untuk mengeluarkan diri kita dari lingkaran yang merusak ini, dan melakukan hal-hal secara berbeda.
Atas tuduhan bahwa turisme menghancurkan alam dunia, industri turisme menjawabnya dengan suatu argumen ekonomi: satu dari sepuluh pekerjaan di dunia bergantung padanya. Pemerintah cenderung senang pada turisme, karena ia menciptakan pekerjaan di saat hotel buka dan pemandian air panas dibangun – dan ia juga menghadirkan banyak mata-uang asing.
Salah seorang yang bergerak di industri tersebut adalah Lelei Lelaulu, seorang wirausaha yang berkembang, sejak tahun 2007, menggambarkan turisme sebagai “perpindahan secara sukarela terbesar atas dana tunai dari orang kaya ke orang miskin, dari ‘orang-berpunya’ kepada ‘orang tidak berpunya’, dalam sejarah”. Bahkan walaupun ada “kebocoran” – di mana banyak belanja turis tidak masuk ke negeri tujuan tetapi kepada agen tur asing, maskapai penerbangan dan jaringan perhotelan yang layanannya mereka gunakan – tidak dapat disangkal bahwa orang Australia belanja secara bebas di Bali, orang Amerika di CancĂșn dan orang Cina di Bangkok.
Di akhir bulan Januari, ketika aliran turis Cina ke Eropa mengering, Melissa Biggs Bradley – pendiri Indagare, perusahaan travel kelas-atas dari Amerika, dan salah seorang anggota badan pusat untuk travel yang-bertanggung-jawab – dipanggil oleh kolega Italianya yang memperingatkannya: “Roma kosong. Engkau tidak akan paham betapa besarnya kehancuran yang bakal terjadi.” Di awal krisis, analis industri mengukur krisis yang terjadi sebelumnya. Di tahun 2009, kedatangan turis internasional turun 4% sebagai hasil dari krisis finansial global. Tahun berikutnya industri tersebut kembali bergemuruh dengan pertumbuhan 6,7%. Setelah serangkaian serangan teroris di Turki di tahun 2016, turis kabur, tetapi kerugian Turki adalah keuntungan Spanyol yang melonjak jumlah pengunjungnya.
Roma kosong. Padahal biasanya penuh. |
Turisme tercatat sekitar 15% dari PDB Spanyol dan 13% pada Itali. Tetapi yang menyakitkan adalah walaupun kerugiannya beragam untuk ekonomi di Eropa bagian Selatan, itu adalah ancaman hidup bagi yang bergantung pada turisme, seperti Maladewa, di mana turisme menyumbangkan sekitar sepertiga dari PDB, atau untuk destinasi baru Georgia, di mana jumlah pengunjung berlipat-empat di dekade yang lalu.
Di bulan April, Edmund Bartlett, menteri turisme Jamaika – di mana industri tersebut menghadirkan lebih dari 50% mata-uang asing di negeri itu – meratapi fakta bahwa terjadi “nol kedatangan di bandara Montego Bay, nol kedatangan untuk bandara Kingston dan nol tamu di hotel-hotel … di atas 300 ribu orang yang kehilangan pekerjaan karena semua sistim transportasi yang mendukung turisme berhenti, dan petani yang mendukung turisme tidak dapat menjual hasil panen mereka ke mana pun, dan tempat-tempat pelesir ditutup.”
Karena semua uang yang industri tersebut datangkan, menjadi satu dari sekian banyak harga dari membolehkan suatu tempat untuk diambil alih oleh turisme sehingga merubah perkembangan lokal. Petani menjual tanah mereka ke jaringan hotel, hanya seharga dari hasil panen untuk kemudian berinflasi di luar jangkauan mereka. Airnya dialihkan ke lapangan golf sementara air untuk penduduk mengering. Jalan dipaving-blok. Semua itu untuk pengabdiannya selaku bawahan dari suatu ekonomi kepada suatu penggerak eksternal yang berubah-ubah, ketergantungan pada turisme memiliki kesamaan dengan ketergantungan atas bantuan yang saya amati sebagai reporter di Afganistan setelah invasi tahun 2001. Dalam dua kasus itu, ancaman terburuk adalah kemungkinan penarikan yang tiba-tiba.
Biggs Bradley menunjukkan sejumlah tempat-tempat “kecil, yang mudah diserang” yang bakal hancur, seperti pulau-pulau di Pasifik yang baru-baru ini menjadi populer dengan adanya tur menyelam. “Pulau-pulau itu dibuka dengan kebangkitan fenomenal dibukanya rute penerbangan baru di tahun-tahun sekarang,” dia berkata, hanya untuk berhentinya penerbangan, meninggalkan hutang dan hilangnya pekerjaan di belakangnya.
Tsotne Japaridze, pemilik agen tur Traffic Travel mengorganisir liburan bertema petualangan di Georgia, Azerbaijan dan Armenia, berkata, betapa besarnya rasa sakit yang virus tersebut timpakan pada bisnisnya dan orang-orang yang mencari makan dari bisnis itu. Japaridze mempekerjakan tiga orang secara full-time, mempekerjakan 15 pemandu-tur dan pengemudi selama musim panas, dan mengirim kelompok tur ke tiga-puluhan kebun anggur, wisma tamu dan rumah perorangan di seluruh negeri itu. Perusahaannya dapat dipandang sebagai suatu agen yang membantu tamu menghamburkan uang untuk men-support kehidupan ratusan orang. Di permulaan krisis tersebut, Japaridze memberhentikan para pegawainya tanpa uang cuti (“Itu keputusan yang berat tetapi saya tidak punya pilihan lain,” dia berkata). Karena turisme lenyap, permintaan telah meledak untuk layanan-layanan yang tidak memerlukan pelanggan untuk meninggalkan lingkungan perumahan mereka. Salah seorang dari pemandu-tur yang sebelumnya bekerja pada Japaridze, yang biasanya membawa kelompok tur ke daerah Svaneti yang indah di Georgia, sekarang bekerja mengantarkan makanan dengan sepeda motornya.
Apabila bahaya dari ketergantungan terhadap turisme adalah bahwa turis tiba-tiba berhenti datang, masalah yang lebih lazim adalah terlalu banyak turis – kejenuhan dari suatu destinasi oleh pengunjung dalam jumlah yang tidak dapat ditopangnya. Mendekati puncak wabah, saya ngobrol lewat aplikasi Zoom kepada Jane da Mosto, yang memiliki organisasi non-pemerintah, We Are Here Venice, yang memerangi dengan keberanian untuk menjaga tempat-tempat tur yang kelebihan turis di atas muka bumi agar menjadi tempat yang dapat lebih ditolerir untuk hidup.
Sambil mencincang sayur untuk makan malam keluarga, Da Mosto mengakui tidak mudah mensejajarkan kejadian di rumah sakit di Itali yang ramai dan pemandangan ketenangan yang dapat diamati dari jendelanya saat ini. Jembatan kosong dan kuda laut melompat-lompat di Grand Canal, sementara penjaja pasta digantikan oleh awak perahu yang mengirimkan tortellini buatan rumahan ke penduduk kota tersebut.
Ketika Da Mosto beranjak untuk mengambil kentangnya, tempatnya diambil oleh anak laki-lakinya yang berumur 19 tahun, Pierangelo. Sejak dari kecil, Pierangelo telah hidup di atas perahu air, dan dia pingin muntah jika diharuskan duduk di dalam mobil. Dia bekerja sebagai tukang kayu dan memperbaiki perahu di kota itu, sambil juga menunjukkan kepada turis tentang “Venesia dari perspektif orang Venesia”.
Venesia di bulan Juni tahun lalu. |
Seorang Venesia yang mengakui pentingnya turisme tetapi perlu waktu lama untuk melepaskan cengkeramannya, Pierangelo dan teman-temannya – para perancang, para pelajar, anggota gilda perkayuan – telah mendiskusikan hidup setelah wabah virus tersebut, ketika, dengan pengunjung yang lebih sedikit, mereka dihadapkan dengan jatuhnya penghasilan, dan diwajibkan untuk mengawali usaha yang melayani penduduk di sekitar tempat tinggal.
Dan bagaimana, saya bertanya, bagaimana rasanya ketika dia berada di Giudecca Canal dan melihat kapal pesiar berbelok ke arahnya?
“Kecil,” Pierangelo tersenyum. “Sangat kecil.”
Kalau bukan untuk turisme, banyak kain tenun Gotik Venesia diremukkan atau dibuat ulang di tahun-tahun lalu. Tetapi ketika industri turisme menyediakan banyak alasan ekonomi untuk pemeliharaan arsitektur kota tersebut, kekuasaan diberikan kepada para investor hotel, restoran dan perkapalan, yang banyak dari mereka orang-luar yang bagi mereka Venesia hanya sekedar suatu business opportunity. Pada tanggal 15 Juli 1989, industri musik global menyita kota tersebut untuk konser gratis, kenangan yang menyakitkan hati orang Venesia bahkan sampai sekarang. Sebanyak 200 ribu orang dari seluruh Eropa berkumpul hari itu di Piazza San Marco, pusat spiritual dan aestetik kota tersebut, sebagian dari mereka dikumpulkan di atas perahu di lepas pantai, untuk melihat Pink Floyd di akhir world tour mereka.
Dewan kota panik hingga pembukaan mengenai konser dilanjutkan atau tidak. Akhirnya, kelompok band tersebut setuju untuk mengurangi volume suara dan memperpendek daftar main lagu agar sesuai dengan jadwal TV global, sementara para pemilik toko di sekitar tempat itu menjual bir hangat dengan harga tiga kali lipat kepada para fans yang kebelet pipis karena otoritas tidak menyediakan satu toilet pun. Di pagi harinya, tempat yang terkenal itu penuh dengan kaleng, puntung rokok dan genangan air kencing.
Itulah contoh dari turisme yang menyerbu kota jaman pertengahan sejumlah 200 ribu turis yang tidak membayar uang masuk dan meninggalkan kota yang sulit untuk dibersihkan. Satu laporan stasiun TV Italia menggambarkan konser tersebut sebagai suatu pelanggaran hak asasi manusia, “ada yang menyerbu dan ada yang diserbu”. Begitu besar kritik kepada dewan kota dari warga kota.
Lama sebelum penyerbuan oleh para penggemar rock tersebut, warga telah meninggalkan kota. Antara tahun 1950 dan 2019, populasi Venesia jatuh dari
180 ribu menjadi hampir 50 ribu orang, sementara jumlah pengunjung tahunan meningkat dari satu juta menjadi 30 juta orang. Menurut Jan van der Borg, seorang spesialis turisme yang mengajar di Universitas Ca’ Foscari di Venesia, dan penasehat otoritas turisme di seluruh Eropa, ini melebihi “kapasitas daya-dukung” kota, jumlah yang dapat ia tunjang tanpa secara tetap merusak infrastrukturnya dan cara hidupnya, hanya 10 juta orang pengunjung tahunan.
Apakah itu pemilik gondola yang tinggal jauh dari situ dan menugaskan orang yang lain untuk mendayung perahu buat turis di sepanjang kanal yang ditentukan, atau penerbangan murah yang mendepositkan ribuan turis setiap harinya di area yang luasnya saja tidak sampai setengah ukuran Central Park di New York, dalam perkataan Da Mosto, “sejumlah besar orang hidup di Venesia tanpa hidup di dalamnya”.
Dan, kata Van der Borg, jenis turisnya salah. Sebagian yakni 70% adalah
day-tripper, yang setelah “berdesakan dari bis, kapal pesiar dan kapal terbang”, menghabiskan beberapa jam bertumpuk di jantung sejarah Venesia “tetapi tanpa menyumbang pada pemeliharaannya”. Setelah belanja sekitar 15 euro yang cukup untuk mendapatkan suvenir yang dibuat di tempat yang ribuan kilo jauhnya, mereka digegaskan oleh pemandu mereka untuk mengunjungi destinasi berikutnya.
Menurut elitisme yang tanpa rasa menyesal yang menginformasikan pemikiran Van
der Borg dan ahli strategi industri lainnya, yang seperti itu disebut “banyak-rusak, rendah-nilai”, orang-orang yang berpelesir hendaknya dibuat sedikit tidak nyaman ketimbang tukang pelesir merdeka yang makmur yang tinggal di hotel, makan di restoran di dekatnya dan mungkin mendatangi tempat-tempat mahal. Di setiap langkah, jalankan garis logika ini, turis “berkualitas” menyumbang kepada kesejahteraan kota melalui pajak, tips dan interaksi manusia.
Apakah paket liburan seperti itu dikeluarkan? Menurut trend report oleh Abta
di Inggris di tahun 2019, orang yang ingin berlibur ke luar negeri mencari, di atas semuanya, yang paling murah. Apabila dimahalkan, turis Inggris tidak mau.
Di dalam 10 tahun yang telah berlalu, kutukan dari
“Venesianisasi” – lekukan dari suatu tempat karena dipenuhi oleh rayap-turis – telah menimpa kota demi kota, karena penerbangan murah dan
Airbnb telah menghadirkan suatu akhir pekan yang dapat dicapai oleh hampir semua orang. Itu bukan hanya Venesia atau Paris, tetapi juga kota pesisir yang sepi semisal Porto, di pesisir Atlantik di wilayah Portugal, tempat itu benar-benar tidak disiapkan untuk jumlah turis yang dilepaskan menuju kota itu.
Perlawanan dapat dicatat di bulan Juli 2015, ketika dewan kota di
Barcelona – yang memiliki tempat berjalan yang terkenal, bernama La Rambla, telah disiapkan segala sesuatunya kecuali tidak dapat dilalui oleh jumlah besar turis – memperkenalkan moratorium atas hotel baru. Tahun berikutnya Airbnb didenda 600 ribu euro karena memuat daftar properti yang tidak memiliki ijin – cuma seharga bir kecil untuk perusahaan yang seperempat saja penghasilannya melebihi satu biliun dolar, tetapi menjadi satu tanda tumbuhnya permusuhan yang terus berkembang terhadap suatu industri yang dapat membuat suatu kota tidak dikenali oleh penduduknya dalam waktu singkat.
Tahun lalu, mayor dari Dubrovnik – yang dengan sempurna memelihara kota lama dibanjiri oleh pengunjung setelah ditampilkan di saduran TV dari Game of Thrones – menutupi 80% dari kedai suvenir menyumbat pusat kota. Kota kanal di Belgia, Bruges baru-baru ini mendekati batas jumlah kapal pesiar yang dapat bersandar di satu waktu dan menghentikan semua iklan yang ditujukan pada meraih banyak pelancong.
La Rambla di Barcelona di tahun 2009 |
Tentu saja ada ongkos finansial untuk membatasi turisme. Sebagaimana FermĂn
Villar, presiden dari Friends of La Rambla, yang mewakili kepentingan pemukim jalan tersebut, mengatakan pada Guardian dua tahun yang lalu, “La Rambla di atas semuanya adalah suatu bisnis … setiap tahun lebih dari 100 juta orang berjalan di sepanjang jalan ini. Bayangkan,” dia sangat gembira,
“jika setiap orang hanya belanja 1 euro saja.” Tetapi turisme massal menggantikan bisnis lain, sementara pemukim produktif dan kreatif keluar, dan juga tekanan yang ditempatkan pada infrastruktur lokal oleh para pengunjung di dalam angka semacam itu, ada ongkosnya tersendiri. Da Mosto mengatakan pada saya bahwa, dalam istilah ekonomi semata-mata, Venesia menjadi jatuh dari suatu industri yang mendirikan toko di situ tetapi mengirimkan keuntungannya ke tempat lain.
Menatap dari jauh Gunung Kenya dari bayangan air di belantara Afrika sepertinya jauh dari krisis. Tetapi kolam yang tidak pernah kering di perkemahan Loisaba, salah satu dari tiga tempat safari seluas 23 ribu hektar, belum nampak seorang pun yang berenang di dalamnya dalam sebulan. Kurang dari sebulan setelah penerbangan ke negeri tersebut dihentikan pada 25 Maret, pimpinan Loisaba, seorang veteran Kenya dari turisme belantara yang dipanggil Tom Silvester, mengatakan pada saya bahwa dia telah memberhentikan 90 pegawai, “dan setiap satu pekerjaan di sini memiliki tanggungan sepuluh orang, sangat besar dampaknya”.
Kerusakan yang terjadi dengan runtuhnya industri turisme Kenya, yang nilainya 1,6 biliun dolar dan mempekerjakan 1,6 juta orang, adalah pemandangan yang menakutkan. Setelah menutup 24 properti di seluruh Afrika timur, Elewana, perusahaan hotel yang mengoperasikan tiga penginapan di Loisaba, membelanjakan cadangan uangnya untuk
men-support 2 ribu-an lebih pegawai dan keluarga mereka. Adapun di website dari pelaku usaha lainnya, Nashulai, dihiasi dengan permohonan untuk sumbangan untuk memberantas kelaparan di antara komunitas-komunitas yang mencari makan dari pekerjaan itu.
Sementara di banyak tempat membersihkan turis mungkin menjadi satu-satunya cara untuk mengembalikan dunia alami yang sehat, di negeri di mana industri turis berfokus pada lingkungan, yang terjadi malah sebaliknya. Ketika saya menyarankan kepada Karim Wissanji, pimpinan Elewana, bahwa cara terbaik untuk memelihara kehidupan satwa Afrika mungkin caranya adalah membuat manusia pindah ke kota dan meninggalkan hewan-hewan itu tanpa gangguan, dia menjawab dengan pedas: “Masa depan dari kehidupan satwa dan habitat mereka pada hakekatnya terhubung pada masa depan industri petualangan safari.”
Tiga perempat dari 2 juta turis asing yang datang ke Kenya tahun lalu adalah untuk melihat satwa liar. Kalau bukan untuk turisme, banyak dari 160 usaha swasta yang menyediakan lorong penting untuk bermigrasi hewan, kembali pada kegiatan berburu atau mengubah lahan untuk pertanian, mengancam salah satu dari konsentrasi terbesar satwa liar di dunia. Persaingan untuk mendapatkan lahan penggembalaan, terutama selama musim kemarau, telah mengintensifkan konflik berkepanjangan antara keperluan komunitas lokal dan kehidupan satwa liar yang unik di negeri itu. Sebagaimana Paula Kahumbu, pimpinan organisasi konservasi Wildlife Direct, menulis di Guardian, “sebagian besar pemuda Kenya melihat satwa liar sebagai tidak relevan, sesuatu yang menguntungkan sedikit orang, pelancong yang kaya atau pemilik tanah berkulit putih”. Di dalam bangkitnya serbuan bengis atas tempat pertanian dan taman satwa liar selama bertahun-tahun, perlengkapan safari telah dipandang sebagai cara untuk membuat turisme secara langsung mendukung kehidupan populasi lokal.
Tetapi kerugian karena adanya wabah mungkin menimbulkan bencana. Pada tanggal 21 April, Perlindungan Alam Internasional, badan derma di Amerika yang melindungi keaneka-ragaman-hayati yang luar biasa, melaporkan bahwa ada suatu “peringatan meningkatnya perburuan daging hewan Afrika dan gading di
Kenya”. Loisaba hanya dapat memelihara patroli anti perburuan berkat sumbangan dari badan Perlindungan Alam tersebut, derma lain yang mendanai dan memberikan nasehat ilmiah untuk pemeliharaan proyek di seluruh dunia.
Biasanya selalu hampir penuh, dengan hanya 48 tempat tidur untuk sekian puluh ribu hektar. Dengan membayar 700 dolar per hari untuk menikmati kebersamaan dengan gajah, jerapah, burung dan mamalia, pengunjung Loisaba secara efektif membayar untuk melindungi satwa liar dari campur tangan manusia yang lebih mengganggu.
Turisme belantara secara umum hanya sedikit saja menariknya bagi kelas menengah yang sedang bertumbuh di Kenya – sementara ongkos hidup yang tinggi membuat banyak orang tinggal di rumah, orang-orang yang tidak pergi berlibur cenderung pergi ke pesisir.
Turis membuat film gorila di Rwanda, 2005 |
Kemampuan untuk menyeru pelanggan lokal akan membuat wahana permainan di negeri tersebut untuk pulih lebih cepat pada saat larangan bepergian berakhir – yang akan terjadi untuk turis Afrika lebih cepat ketimbang orang-orang yang datang dari jauh. Di bulan April, menteri turisme Kenya, Najib Balala, menyerukan suatu “pergantian paradigma” atas nama domestik dan pasar pan-Afrika. “Ia tidak lagi menunggu kedatangan pelancong internasional,” dia berkata. “Apabila kita mulai sekarang, dalam waktu lima tahun kita akan tabah
[di hadapan] guncangan apa pun, bahkan larangan bepergian yang dijatuhkan oleh negeri-negeri barat.”
Pemulihan dari pergantian paradigma tersebut adalah tidak mungkin bagi pemeliharaan turisme. Gorila tersebar di seluruh taman nasional di Rwanda, Uganda dan Kongo. Setelah hampir punah di tahun 1980-an, jumlah mereka pulih berkat upaya pertolongan internasional yang sebagian didanai oleh blue-chip tourism.
(Pengunjung Amerika ke Rwanda membelanjakan rata-rata sekitar 12 ribu dolar untuk sekali perjalanan.) Di tahun 2016, pemerintah Rwanda menggandakan ke angka 1500 dolar ongkos yang turis harus bayar untuk setiap satu jam dengan primata. Ini memiliki efek yang ajaib terhadap pendapatan dari 15 juta menjadi 19 juta dolar – sebagian dari uang ini untuk membayar polisi hutan dan mendanai skema kesejahteraan lokal – sambil mengurangi jumlah pengunjung yang menginjak-injak habitat primata di Volcanoes National Park, dari 22 ribu turun menjadi 15 ribu orang.
Sekarang perbatasan negeri itu ditutup dan turis asing kaya tidak kembali selama berbulan-bulan. Suatu strategi konservasi baru diperlukan. Dari sudut pandang ramah lingkungan, bahaya yang segera datang adalah bahwa kera yang besar dapat tertular virus korona. Sedangkan tantangan jangka panjangnya adalah melindungi mereka dari meningkatnya penangkapan gorilla untuk dimakan dagingnya, dan dari terjebak di perangkap yang ditaruh untuk rusa.
Di bulan Juni, Sheba Hanyurwa, yang menjalankan bisnis turisme di seluruh Uganda dan
Rwanda, mengatakan pada saya bahwa di tahun-tahun yang berlalu pendapatan dari turisme telah membolehkan keanekaragaman ekonomi tertentu untuk terjadi. Gaji yang relatif tinggi yang diberikan pada polisi hutan dan pemandu-tur telah memungkinkan komunitas mereka memelihara sapi dan ayam untuk keperluan sendiri. Selama krisis tersebut, pemerintah Uganda dan Rwanda telah berpatroli dengan sering di taman nasional mereka – dengan keberhasilan yang lebih besar ketimbang pemerintah Kongo. Tetapi, Hanyurwa mengatakan pada saya, “pekerja hotel dan porter telah diberhentikan dan orang-orang kelaparan. Satu-satunya penghidupan di sini adalah dari turisme dan tidak akan ada turis internasional setidaknya sampai tahun depan.”
Covid-19 telah mengungkap kecacatan di dalam model turisme elit.
Tidak semua turisme berbasis-alam adalah bagus bagi alam tersebut. Kesadaran lingkungan telah bertumbuh, banyak bisnis yang memungut istilah yang enak didengar seperti “ramah-lingkungan” dan “hijau” – bahkan walaupun dalam ucapan badan yang memelihara kelanggengan turisme, “pengalaman yang mereka jual bukan hal-hal yang sifatnya agar orang jadi ramah lingkungan”.
Di antara bangsa-bangsa yang memiliki, di tahun-tahun belakangan ini, upaya untuk membangun turisme satwa liar adalah Nusa Tenggara, yang menjadi tempat tinggal kadal terbesar di dunia, Komodo. Tahun lalu, pemerintahnya mengumumkan rencana untuk menjadikan kota
Labuan Bajo, yang menjadi titik masuk taman nasional Komodo, sebagai salah satu dari sepuluh destinasi turisme yang utama. Dengan membahayakan, skema pemerintah tersebut dinamakan “10 new Balis”.
Ide tersebut bukan untuk melonggarkan tekanan atas pulau Bali yang kelebihan turis, yang untuk itu bandara baru direncanakan, tetapi untuk menyamai keberhasilannya menarik jutaan turis dengan liburan murah setiap tahun. Dalam proses tersebut, Bali yang memiliki kombinasi pantai, kurangnya air dan gunungan sampah, dapat disamai. “Yang tadinya hanya desa kecil nelayan ditiup dengan konstruksi tanpa henti atas restoran dan hotel,” lapor seorang koresponden CNBC yang mengunjungi Labuan Bajo di bulan Januari.
Komodo di Nusa Tenggara |
Antara tahun 2008 dan 2018, jumlah pengunjung tahunan ke taman nasional Komodo meningkat dari 44 ribu ke 176 ribu. Satu atraksi besar, terpisah dari alam itu sendiri, adalah harganya. Setelah penerbangan seharga 50 dolar dari Bali yang mendarat di bandara baru Labuan Bajo, saya diberitahu oleh Glenn Wappett, mantan militer Inggris, yang naik kapal laut pribadi ke Nusa Tenggara, “Anda dapat tinggal di sebuah hostel dan naik perahu untuk melihat komodo dan masih mendapat kembalian dari lembaran 100 dolar”. Itu termasuk 12 dolar tiket masuk ke tempat tersebut.
Lonely Planet nama dari gugusan pulau tersebut yang memuat Komodo sebagai
“tujuan bernilai terbaik”-nya untuk tahun 2020. (Itu sebelum buku panduan travel yang hendak diterbitkannya dihantam oleh global lockdown dan menghentikan sebagian besar aktivitas dagangnya di bulan April.)
Pilihan pemerintahnya yang lebih cenderung untuk turisme massal ketimbang turisme elit telah dipandu oleh tambahan 2 juta anak muda yang masuk ke pasar tenaga kerja setiap tahunnya. Lebih banyak turis berarti lebih banyak pekerjaan. Setelah semuanya, bahkan jika pendapatan per kapita mereka rendah, jumlah besar pelancong memerlukan lebih banyak pelayan, supir taksi dan pemandu tur laut ketimbang turisme elit.
Tetapi karena jumlah pelancong ke pulau tersebut meningkat, populasi komodo telah jatuh. Musim kawin hewan tersebut terganggu oleh turis, sementara perburuan rusa mengosongkan sumber makanan utama mereka dan pembalakan menghancurkan habitat mereka. Di tahun
2018, Viktor Bungtilu Laiskodat, gubernur provinsi
Nusa Tenggara Timur, di mana taman tersebut terletak, menganjurkan untuk menaikkan harga tiket masuk menjadi 500 dolar dengan tujuan menarik lebih banyak turis yang lebih kaya, mengurangi jumlah pengunjung dan melindungi kadal tersebut. Di bulan Maret 2019, setelah penyelundup mencuri lebih dari 40 Komodo, pemerintahannya melangkah lebih jauh dan mengumumkan bahwa pulau Komodo, yang menjadi tempat tinggal dari sekitar 1700 kadal raksasa, ditutup di sepanjang tahun 2020 agar reptil tersebut, dan rusa yang menjadi makanannya di tempat tersebut, dapat kembali pulih.
Tetapi upaya pemerintah tersebut untuk menjaga atraksi utama di situ kandas dengan banyaknya orang setempat yang mencari nafkah dari turisme.
“Mulai dari perusahaan selam, hotel dan restoran,” kenang Wappett. Mereka menginginkan agar turis dibolehkan ke pulau Komodo, dan di bulan Oktober, aturan gubernur tersebut dikesampingkan dan rencana tersebut dibatalkan.
Virus ini telah berhasil sementara gubernur itu telah gagal. Masuk ke pulau Komodo telah dihalangi bagi semua kecuali komunitas nelayan yang menghuninya. Komodo kembali dapat makan dengan tenang, yang, menurut temannya Wappett di tempat tersebut, telah kembali dalam jumlah spektakuler ke perairan ini yang sebelumnya terlalu banyak dikunjungi orang.
Walaupun dianggap merusak bisnis, virus tersebut telah menawari kita opportunity untuk menyusun suatu dunia yang berbeda – salah satunya untuk memulai adalah tinggal dan usaha di lingkungan setempat. Ketiadaan turisme telah memaksa kita untuk mempertimbangkan cara-cara selain itu untuk memperoleh pendapatan.
Untuk pulau Komodo di Nusa Tenggara alternatifnya adalah komunitas yang berada di sekitarnya kembali melaut dan menenun yang telah mereka lakukan selama berabad-abad. Di Georgia di daerah Svaneti, di mana umpan dolar turis telah menarik orang untuk meninggalkan peternakan hewan demi membuka penginapan dan kafe, Tsotne Japaridze mengatakan pada saya bahwa krisis ini dapat menjadi suatu “pelajaran untuk tidak melupakan cara tradisional mencari nafkah”.
Artikel ini telah tayang di Guardian di tanggal 18 Juni 2020 dengan judul: The End of Tourism?